PENGEMBANG JAMU (OBAT TRADISIONAL INDONESIA) ; BELAJAR DARI NEGARA NEGARA LAIN


Indonesia adalah negara kedua terbesar di dunia yang mempunyai keanekaragaan hayati (biodiversity) setelah Brazil dengan Amazonnya. Diperkirakan hutan tropik Indonesia mempunyai 28.000 jenis tumbuhan, 7000 jenis diantaranya adalah tumbuhan obat dan sekitar 283 sudah terregistrasi sebagai tumbuhan obat. Tumbuhan obat ini sudah digunakan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun sejak lama, dikenal sebagai Jamu. Hampir semua masyarakat di Indonesia pernah menggunakan Jamu. Saat ini Jamu mempunyai nilai ekonomis yang cukup besar. Ada beberapa perusahaan besar yang memproduksi Jamu dalam bentuk asli berupa campuran simplisia (bahan kering) dari beberapa tumbuhan, ekstrak tanaman, pil, tablet, kapsul, minyak gosok, kosmetika dan bentuk sediaan farmasi lainnya.

Namun nilai ekonomis tumbuhan obat ini jauh lebih besar kalau dikembangkan lagi, dengan memperkuat penelitian-penelitian ilmiah terhadap tumbuhan potensial. Apa yang telah berkembang dengan tumbuhan obat di Cina yang terkenal dengan  Traditional Chinese Medinicine  (TCM), di Jepang dengan  Kampo , di India dengan  Ayuverda  tidak hanya menjadikan perhatian para peneliti di dalam negara sendiri tetapi sudah menjadi topik menarik untuk dikaji oleh peneliti-peneliti dunia, karena prospeknya untuk dijadikan bahan baku obat atau sebagai bahan dasar untuk sintesis bahan obat. Begitu juga di negara-negara barat. Sekedar mengambil contoh Belanda dan Jerman di Eropa yang punya sumber bahan alam sangat minim untuk dijadikan bahan obat, namun penelitian-penelitian terus berlangsung dengan cepat. Produk-produk herbal juga sangat mudah ditemukan di toko-toko obat atau apotek. Salah satu contoh tanaman yang dijadikan bahan baku untuk obat adalah  Podophyllum peltatum  yang mengandung senyawa  podophyllotoxin . Senyawa ini dijadikan bahan dasar untuk mensintesis obat anti kanker teniposide dan etoposide. Di Indonesia kita sudah lama mengenal obat antimalaria yang diproduksi dari tumbuhan kina. Namun sekarang popularitas obat ini menurun dengan adanya obat pengganti yang lebih efektif. Obat pengganti ini juga berasal dari tumbuhan seperti  artemisinin  dari tumbuhan  Artemisia annua . Penelitian terhadap tumbuhan ini sedang giat dilakukan di seluruh dunia oleh kelompok penelitian tumbuhan obat, sampai mengkaji genetika yang berperan dalam produksi senyawa berkhasiat dari tumbuhan tersebut.

Ada bebarapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengembangkan tumbuhan obat, diantaranya: (1) Memperbaharui  database  tumbuhan obat Indonesia berdasarkan prospeknya sehingga bisa dilakukan pemilihan berdasarkan prioritas (2). Mengintegrasikan semua  stakeholder  yang terkait mulai dari pihak universitas, lembaga riset, pemerintah dan industri farmasi, juga dengan pihak luar negeri sesuai dengan kebutuhan dalam rangka memenuhi kekurangan fasilitas (3). Melakukan penelitian berkesinambungan dalam bentuk  research group  (kelompok penelitian) terhadap terhadap tumbuhan yang menjadi prioritas sebagai kandidat bahan obat mulai dari dasar sampai uji klinis (4). Meningkatkan kualitas penelitian sehingga bisa dipublikasi dalam bentuk paten dan atau jurnal-jurnal internasional (5) Adanya regulasi dalam bentuk pertimbangan etik untuk pengembangan tumbuhan obat. Tujuan dari tulisan ini adalah menstimulan peningkatan penelitian tumbuhan obat sehingga mempunyai nilai lebih dibanding apa yang sudah ada sekarang.

Jamu, obat tradisional Indonesia

Penggunaan Jamu sudah berlangsung secara turun temurun di kalangan masyarakat Indonesia. Belum ada laporan pasti sejak kapan pertama kali Jamu digunakan. Sebuah buku tentang Jamu mengungkapkan bahwa Jamu pertama kali diperkenalkan dikalangan keraton (kerajaan) Jogjakarta. Artikel menarik yang ditulis oleh seorang peneliti di sebuah jurnal ilmiah internasional mempunyai judul yang bisa dijadikan sebuah  autokritik  bagi pengembangan jamu. Judul aslinya adalah  Jamu: an Indonesian herbal tradition with a long past, a little known present, and uncertain future  (Jamu, tradisi pengobatan herbal Indonesia dengan sejarah yang panjang, sedikit dikenal sekarang dan masa depan yang belum jelas). Walaupun penulis artikel tersebut hanya mempunyai pengalaman dan interaksi yang sangat singkat dengan Jamu dan praktisi Jamu selama berada di Indonesia, namun di satu sisi tulisan itu memberikan gambaran yang cukup dimengerti tentang kondisi Jamu saat artikel itu ditulis tahun 1999, bahkan sampai sekarang. Apalagi kalau dilihat dalam kaca mata internasional. Di dalam negeri, walaupun hampir semua masyarakat Indonesia mengenal dan pernah menggunakan Jamu, serta sudah berlangsung sejak nenek moyang bangsa Indonesia, namun perkembangan Jamu masih belum berbanding lurus dengan banyaknya jumlah tumbuhan obat yang dimiliki bangsa Indonesia. Berbeda dengan obat tradisional Cina (TCM) atau  Kampo  di Jepang, dan  Ayuverda  di India yang sudah dikenal di negara barat, Jamu baru beredar di negara-negara yang penduduknya ada yang berasal dari Indoneisa, seperti Malaysia, Singapura dan Belanda. Konsumennya juga masyarakat Indonesia sendiri.

Berdasarkan tata cara pembuatan dan jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, tumbuhan obat Indonesia dibagi dalam 3 jenis; (1) Jamu, (2) Obat herbal terstandar dan (3) Fitofarmaka. Ketiga jenis produk tumbuhan obat tersebut harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Klaim khasiat untuk jamu dibuktikan berdasarkan data empiris, sedangkan untuk obat herbal terstandar harus dibuktikan secara ilmiah/pra-klinik dan telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan. Untuk jenis fitofarmaka, klaim khasiat harus dibuktikan dengan uji klinis dan bahan baku terstandardisasi.

Pemerintah Indonesia telah berupaya mengembangkan Jamu melalui regulasi dan pembinaan yang dilakukan melalui Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta melibatkan instansi-instansi lain. Tahun 1995, telah dibentuk pusat pengembangan obat tradisional (Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional, P3T) yang bertugas diantaranya melakukan pengkajian dan penelitian, menyelenggarakan pelatihan-pelatihan, pelayanan pengobatan tradisional, dan menyelenggarakan uji klinis/uji penerapan obat tradisional yang potensial untuk menjadi fitofarmaka.

Jamu mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari BPOM, setidaknya ada sekitar 872 perusahan Jamu (obat tradisional) yang diklasifikasikan sebagai Industri obat tradisional (IOT, 87 buah) dan Industri kecil obat tradisional (IKOT, 723 buah). Ditambah sejumlah 462 perusahaan luar negeri yang juga mendistribusikan produk obat tardisionalnya di Indonesia. Tahun 2000, pendapatan industri obat tradisional diperkirakan $ 150 juta. Periode Januari-Juni 2005, ekspor tumbuhan obat mencapai $ 126,8 juta. Sebuah nilai yang sangat besar bagi devisa negara apabila potensi ini bisa ditingkatkan lebih jauh lagi.

Kegamangan untuk menggunakan Jamu (obat tradisional) dalam pengobatan modern, adalah sebuah realita yang mengakibatkan perkembangan Jamu cukup terhambat. Keragu-raguan ini bisa dilihat dengan enggannya pihak dokter merekomendasikan pengunaan Jamu untuk mengobati pasien, dan pilihan utama pasien untuk obat-obat modern secara kimiawi. Dengan demikian Jamu hanya berkembang untuk pengobatan ringan seperti obat pegal linu, encok, kosmetik dan lain-lain. Hal ini cukup beralasan karena pembuktian secara ilmiah (klinis dan praklinis) serta standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan masih belum maksimal. Hanya beberapa saja produk tumbuhan obat yang dikategorikan ke dalam fitofarmaka. Uji klinis ini, sebagai mana juga obat sintetis adalah mutlak harus dipenuhi untuk sebuah produk obat. Sekaligus kalau ingin memasarkan produk jamu di seluruh dunia persyaratn tersebut juga menjadikan acuan utama.

Pendekatan ilmiah terhadap Jamu, adalah sebuah kemestian yang harus diperhatikan dalam pengembangannya. Dalam tulisan ini akan dijelaskan beberapa poin saja berkaitan dengan pendekatan ilmiah yang perlu diterapkan dalam dalam pegembangan Jamu. Sehingga jamu bisa dikebangkan lebih jauh sesuai dengan predikat sumber kedua terbesar bagi Indonesia untuk kekayaan alam tumbuhan obat.

Memperbaharui database (basis data) tumbuhan obat Indonesia berdasarkan prospeknya sehingga bisa dilakukan pemilihan berdasarkan prioritas

Inventarisasi tumbuhan obat Indonesia beberapa kali dilakukan sehingga ada beberapa buku yang memuat tumbuhan obat Indonesia dengan berbagai deskripsi seperti nama daerah, nama latin, kegunaan, distribusi, cara penggunaan, kandungan kimia, dan cara menyiapkannya. Beberapa contoh buku tersebut diantaranya;  Medicinal Herb Index  (indek tumbuhan obat Indonesia) yang diterbitkan oleh PT Eisei Indonesia, Tumbuhan berguna Indonesia, kedua buku ini disusun atas kontribusi perusahaan luar negeri. Berikutnya beberapa buku yang ditulis oleh peneliti Indonesia. Semua buku tersebut memuat jumlah tumbuhan obat Indonesia yang berbeda-beda, dan memuat tinjuan umum saja.

Dengan perkembangan penelitian-penelitian yang dilakukan di dalam maupun di luar negeri dengan menggunakaan jenis tumbuhan yang sama, sangat memungkinkan sekali untuk memperbaharui ( update ) basis data tumbuhan obat Indonesia. Basis data tersebut bisa dikembangkan dengan membuat level potensi pengembangannya, mulai dari prospek sebagai bahan penelitian untuk kebutuhan ilmu pengetahuan sampai kepada tumbuhan yang mempunyai prospek aktifitas farmakologi (terapi) tinggi. Dengan demikian tumbuhan obat bisa dikelompokkan sesuai dengan prioritas pengembangannya. Basis data berdasarkan pengelompokkan ini bisa digunakan sebagai acuan bagi peneliti-peneliti, universitas, lembaga pemerintah, industri farmasi dalam melakukan penelitian dan pengembangan obat tradisional. Saat ini BPOM sedang melakukan penelitian sistematik dan komprehensif terhadap 9 prioritas tumbuhan obat, yaitu jahe (ginger,  Zingiber officinalle ), dan sambiloto ( Andrographis paniculata ) sebagai obat antineoplasma atau antitumor, kunyit ( Curcuma domestica ), kencur ( C. xanthorrhiza ) dan jati belanda ( Guazuma ulmifolia ) sebagai obat antihiperlipidemia, mengkudu ( Morinda citrifolia ) dan salam ( Syzigium polyanthum ) sebagai obat antidiabetes, jambu biji ( Psidium guajava ) sebagai obat antivirus, dan cabe Jawa ( Piper retrofractum ) sebagai obat aphrodisiac, androgenic. Beberapa produk tumbuhan obat dengan kategori fitofarmaka sudah beredar di pasaran, seperti Stimuno (meniran,  Phyllanthus niruri ) untuk meningkatkan kekebalan (imunitas) tubuh, Tensigard untuk obat tekanan darah tinggi (Antihipertensi), Rheumaneer (kencur,  C. xanthorrhiza ) untuk obat rematik dan Nodiar (jambu biji dan kunyit) sebagai obat diare. Berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian yang dipublikasi di jurnal internasional ada banyak lagi tumbuhan obat Indonesia yang mempunyai prospek untuk dikembangkan. Beberapa contoh seperti jamblang ( Eugenia jambolana ) dan klabet ( Trigonella fonum graceum ) untuk obat diabetes.  Centella asiatica  (pegagan) dan  Orthosiphon aristatus  (kumis kucing) sebagai obat antihipertensi,  Glychirrhiza radix  sebagai obat batuk dan penekan susunan syaraf pusat seperti parkinson. Contoh-contoh tumbuhan ini sudah melalui uji klinis terhadap pasien. Disamping uji klinis, banyak tumbuhan obat yang telah diuji aktivitas farmakologinya.

Mengintegrasikan semua pihak terkait

Mengembangkan tumbuhan obat Indonesia adalah sebuah proyek besar yang membutuhkan dana dan usaha yang sangat besar. Sangat lazim, untuk menjadi produk jadi, bahan obat harus melalui proses penelitian yang panjang dengan menelan biaya besar. Untuk itu sangat diperlukan sekali kerja terintegrasi antara semua pihak yang terkait mulai dari universitas, lembaga riset, pemerintah dan industri farmasi, juga dengan pihak luar negeri sesuai dengan kebutuhan dalam rangka memenuhi kekurangan fasilitas dan dana. Berbagai riset sering dilakukan secara terpisah oleh kelompok-kelompok penelitian atau perorangan. Karena tidak ada sebuah koordinasi yang baik akhirnya sering terjadi pengulangan penelitian terhadap tumbuhan dan topik yang sama. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan kebanyakan hanya menjadi sebuah bahan bacaan. Universitas dan lembaga penelitian yang tersebar di seluruh tanah air, secara rutin melakukan penelitian dari berbagai aspek kajian. Hasil penelitian dibukukan dalam bentuk tesis atau laporan. Pihak industri bisa menanamkan modalnya untuk membiayai universitas dan penelitian untuk tumbuhan-tumbuhan obat pilihan yang punya prospek nilai jual yang tinggi.

Melakukan penelitian berkesinambungan

Berdasarkan basis data yang ada dan penelitian yang sudah dilakukan, dapat ditentukan tumbuhan yang mempunyai prospek aktivitas yang tinggi. Penelitian secara intensif  terus dilakukan menyangkut semua aspek kimia, famakologi, uji preklinis dan klinis, standardisasi senyawa berkhasiat dan lain-lain. Penelitian dapat melibatkan beberapa  research group  (kelompok penelitian) dengan berbagai disiplin ilmu serta pihak industri tumbuhan obat serta kerjasama dengan luar negeri. terhadap tumbuhan yang menjadi prioritas sebagai kandidat bahan obat mulai dari dasar sampai uji klinis. Hanya sedikit dari penelitian tumbuhan obat di Indonesia yang ditindak lanjuti dengan baik. Berbagai faktor bisa mempengaruhi kondisi ini seperti dana dan kualitas penelitian. Penelitian berkesinambungan ini akan berjalan dengan baik apabila ada basis data berdasarkan tingkat tinggi rendahnya prospek aktivitas farmakologi tumbuhan obat.

Meningkatkan kualitas penelitian sehingga bisa dipublikasi dalam bentuk paten dan atau jurnal-jurnal Internasional

Kualitas penelitian adalah syarat penting dalam pengembangan obat tradiosional. Karena dengan kualitas penelitian akan menggambarkan hasil yang bisa dipercaya oleh semua kalangan. Dengan kualitas yang baik penelitian akan bisa dipubilkasikan di jurnal dalam dan luar negeri, yang sekaligus sebagai bahan promosi untuk pengembangan jamu. Untuk publikasi international, penelitian tentang Jamu masih sangat rendah sekali. Hasil penelusuran menggunakan basis data ISISWEB atau PUBMED (basis data yang sangat terkenal dibidang ilmu pengetahuan) terhadap curcumin (kandungan kimia kunyit yang mempunyai efek antikanker), dari 1600 penelitian yang dilakukan periode 1949-2005, tidak ditemukan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia dan atau terhadap tumbuhan Indonesia. Jumlah tersebut didominasi oleh penelitian-penelitian dari Cina, Jepang dan India, bahkan Pakistan. Dengan menggunakan kata kunci  Indonesian medicinal plants , ditemukan 78 penelitian (Periode 1978-2005), kata kunci jamu, hanya ditemukan 24 penelitian (periode 1974-2005). Jumlah inipun juga didominasi dengan penulis utamanya peneliti dari luar negeri.

Di sisi lain banyak penelitian-penelitian yang sudah dilakukan di dalam negeri, namun publikasinya belum optimal. Fokus untuk bagian ini sesungguhnya memberikan peluang sekali unuk pengembangan obat tradisional di dunia Internasional. Berdasarkan pengalaman penulis, fasilitas yang ada di tanah air, sebenarnya tidak terlalu kurang. Instrumentasi spesifik yang memang tidak ada di tanah air bisa dilakukan melalui kerjasama dengan pihak luar negeri. Untuk melakukan hal ini harus mempertimbangkan beberapa hal yang dibahas pada bagian akhir tulisan ini.

Adanya regulasi dalam bentuk pertimbangan etik untuk pengembangan tumbuhan obat

Tumbuhan obat adalah merupakan kekayaan alam Indonesia yang seharusnya memberikan keuntungan lebih besar bangsa Indonesia sendiri. Pengembangan tumbuhan obat sebagai sumber profit harus mempertimbangkan efektifitas dan kemanan ( safety and efficacy ), pembagian keuntungan ( benefit sharing ), konservasi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan tradisional ( indigenous knowledge ), adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan oleh semua pihak yang terlibat dalam pengembangan obat tradisional. Efektivitas (efek penyembuhan) tumbuhan obat dan dan kemanan harus menjadi pertimbangan utama untuk menjamin konsumsi tumbuhan obat oleh pasien. Pembuktian terhadap khasiat yang diklaim harus dilakukan secara terus menerus. Adanya anggapan bahwa tumbuhan obat dipastikan aman karena berasal dari alam, sesungguhnya tidak selalu benar. Ada beberapa tumbuhan obat, salah satunya karena komponen kimia yang dikandungnya juga memberikan efek yang tidak diinginkan.

Nilai ekonomis tumbuhan obat memungkinkan para pemilik modal dalam dan luar negeri menanam sahamnya untuk pengembangan dan produksi tumbuhan obat. Untuk ini sangat diperlukan sebuah regulasi untuk menjamin adanya pembagian keuntungan ( benefit sharing ) antara pemilik sumber daya alam dengan pemilik modal. Hak kekayaan intelektual juga termasuk dalam pertimbangan pembagian keuntungan ini. Adanya regulasi yang jelas akan menghindari eksplorasi kekayaan alam Indonesia tanpa kontrol seperti yang sering terjadi. Eksplorasi tumbuhan obat secara terus menerus tanpa adanya konservasi atau kultivasi (penanaman kembali) akan mengakibatkan habisnya tumbuhan obat. Untuk menjamin ketersediaan secara terus menerus maka setiap pihak yang mengeksplorasi tumbuhan obat diberikan kewajiban melakukan kultivasi.

Penutup

Tumbuhan obat Indonesia mempunyai prospek yang besar untuk dikembangkan. Jamu, yang sangat dikenal sejak lama perlu dikembangkan secara terus menerus. Penelitian-penelitian berkaitan dengan tumbuhan obat sebagai jam terus dilakukan secara terkoordinasi dan sistematis. Kualitas penelitian yang baik serta terpublikasikan secara luas secara nasional dan internasional akan mampu mempromosikan jamu ke seluruh dunia, pada akhirnya jamu akan menjadi sumber devisa negara yang penting.

Daftar pustaka

Pramono E, the traditional use of traditional knowledge and medicinal plants in Indonesia. Multi-Stakeholder Dialoque on Trade, Intellectual Property and Biological Resources in Asia, BRAC Centre for Development Management, Rajendrapur, Bangladesh, April 19-21, 2002

Medicinal herb index in Indonesia , 2nd ed.; PT Eisei Indonesia; Jakarta, 1995.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI,  http://www.pom.go.id/

Dan beberapa sumber lain.